Read me:
1. forgive my bahasa indonesia. every single flaw you may find
2. just focus on the message. okeh!
Beberapa hari yang lalu, gempa 7,3 SR di Tasikmalaya menggoncang pula Ibukota tercinta, Jakarta. Tentu ini bukan gempa pertama bagi para warga Jakarta. Gempa bumi telah terjadi dari tahun ke tahun tanpa akibat yang berarti. Guncangan kecil-kecilan nampaknya bukan sesuatu yang baru bagi penduduk Ibukota sehingga ketika gempa terjadi, tidak sedikit yang santai menanggapinya. Kakek saya salah satunya. Beliau memilih untuk tidak mendramatisir suasana (baca: keluar rumah sampai gempa berhenti), yakin gempa akan segera berhenti dalam waktu singkat.
Salah seorang teman saya yang bekerja di kawasan Sudirman juga membalas sms saya dengan kata-kata "Hahaha it's hilarious! I was just sitting there watching the whole floor panic. Death surely is a joker. How about you? How funny did the faces around you become?". Saya hanya bisa mengelus dada, lega dia aman.
Saya membalas smsnya dengan, "mungkin muka gue salah satu yang paling lucu". Yup, scared i was.
Gempa dashyat yang menimpa Bengkulu, Jogja, serta Tasikmalaya memang belum pernah menimpa Jakarta. Di tengah kepanikan yang membanjiri tangga-tangga darurat, ada segelintir keyakinan di hati orang orang bahwa malapetaka tidak terjadi di Jakarta. Bencana yang terus menerus terjadi di luar kota membuat banyak masyarakat beranggapan bahwa hal-hal mengerikan tersebut hanya terjadi di luar kota Metropolitan, kepada mereka yang duduk di peringkat bawah status sosial ekonomi Indonesia. Ketika gambar-gambar para korban yang berlindung di tenda-tenda evakuasi serta rumah-rumah yang tertimbun tanah longsor muncul di TV dan media cetak kita menanggapinya seakan gambar-gambar tersebut diambil dari planet lain.
Entah sampai kapan kita akan beranggapan bahwa megahnya gedung-gedung perkantoran dan pusat-pusat perbelanjaan Jakarta akan sanggup melawan mother nature. Entah sampai kapan kita akan bersembunyi dibalik gemerlap cahaya kota di malam hari. Entah sampai kapan kita akan beranggapan bahwa kilau segitiga emas tak akan pernah redup.
Jakarta kokoh, Jakarta kuat, dan kita mencari kedamaian di balik kedok status sosial dan gaya hidup. Kita dibutakan oleh kemajuan teknologi dan kemudahan hidup sehingga gagal menyadari kebobrokan kota tempat sejuta umat beradu nasib. Gagal untuk peduli lebih tepatnya. Ya, Jakarta tidak semegah itu. Jakarta sibuk mengurus kepentingannya sendiri dan tidak mempunyai waktu untuk memikirkan mereka yang menangis kelaparan. Jakarta sibuk menghitung kekayaan orang lain sehingga bisikan untuk memberi pada yang berkekurangan terabaikan. Jakarta sibuk berpesta di saat malam sehingga tak sempat melihat mendungnya langit pagi. Jakarta sibuk mencari segenggam berlian untuk membeli sekotak berlian yang tak akan penuh. Jakarta sibuk dan sombong, dan tak ada kemegahan dalam semua itu. Tak ada kemegahan di Kota Jakarta.
Coba anda renungkan.. Apa yang akan terjadi ketika gempa 7,3 SR mengguncang Jakarta? Apa yang akan anda lakukan bila gempa yang anda kira akan segera berakhir tak kunjung berhenti? Apa yang akan terjadi bila rumah anda hancur dalam jutaan kepingan? Bila kini anda yang harus berada di halaman-halaman media cetak, berlindung di bawah tenda evakuasi? Bila rumah sanak saudara anda pun mengalami hal yang sama, begitu juga teman-teman anda?
Entah apa tujuan dari tulisan ini. Rasanya saya hanya ingin Jakarta berhenti hidup dalam dongeng. Saya hanya ingin Jakarta membuka mata dan melihat jauh melampaui kilauan berlian. Saya ingin Jakarta menyadari bahwa mungkin ada suatu hal lain yang bisa dibanggakan, yang tidak dapat dihitung oleh seorang akuntan. Bahwa ada nilai-nilai berharga yang tak akan hancur berjuta keping, dalam bencana alam yang paling hebat sekalipun.
(due to a few complains, i have taken back, or in a simpler word 'erased', the "peace love and gaul" phrase in the end of this piece, as can still be seen on the notes i wrote on Facebook. hehe)
3 Comments:
why, i mean WHY on earth must you end it with those four words???
tuh bahasa indinesianya bagus. kok tiap hari ngomong bahasa inggris melulu sih. coba biasakan memisahkan 'di' sebagai kata depan. agak gemes sama yang seperti itu. cups.
btw, gue termauk orang jakarta macam itu loh. my life seems so normal with unexpected things i dont even think about.
heheh seperti yang gue bilang ke orang2 yang berkomentar soal empat kata terakhir itu:
gotta put a little bit of me in a not-so-me writing :p
oiya yah tuh di-di-an gue ada yang miss, sial. sama yang mana yang huruf gede mana yang engga gue juga masi suka gak paham. haha! terus yah, rubuh/roboh guncang/goncang gitu2. ampunnn dijey!
Post a Comment